VIVAnews - Industri ritel nasional tak hanya diserbu asing. Sejumlah pengusaha lokal pun turut meramaikan industri yang, menurut Sageworks, kebal krisis.
Sageworks, sebuah perusahaan penyedia informasi finansial yang berbasis di Amerika Serikat, meneliti industri yang berhasil bertahan pada masa sulit, 2006-2011. Hasilnya, industri ritel tetap tumbuh pada kisaran 4,9 persen. Bahkan pada tahun terbaik, industri ini tumbuh 7,4 persen (2007) dan konsisi terburuk juga masih tumbuh positif 1,3 persen (2009).
Atas alasan inikah orang-orang terkaya Indonesia masuk ke bisnis ritel?
Sekadar informasi, sejumlah orang terkaya Indonesia turut mengais keuntungan di Industri ini. Keluarga Tahir misalnya, pengusaha gaek yang lama malang melintang di dunia perbankan melalui Bank Mayapada ini belakangan membangun minimarket perkantoran, Bao Bao Express.
Tahir yang memiliki gurita bisnis Grup Mayapada ini merupakan orang terkaya ke 14 di Indonesia versi Majalah Forbes November 2012. Selain dari Bank Mayapada, kekayaan Tahir sebesar US$1,4 miliar datang dari jaringan rumah sakit Mayapada Hospital, dan sejumlah persewaan gedung, seperti Mayapada Tower dan Sona Topas Tower di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Dengan mengusung warna orange, Bao Bao yang artinya anak manis, menawarkan minimarket yang aman dan nyaman. Gerai berlogo perempuan berbaju khas Cina warna merah ini membidik para pekerja. Tak aneh bila layanan dan dagangannya tak jauh dari kebutuhan kaum urban, seperti makanan ringan, minuman kalengan atau seduhan, toiletries, isi pulsa, hingga pembayaran rekening listrik.
Didukung modal yang kuat, gerai yang kini baru berjumlah 15 ini akan ditingkatkan menjadi 100 cabang pada tahun ini. "Lima tahun ke depan 1.000 cabang," kata Direktur Bao Bao Express Stanley Goliath kepada VIVAnews.
Sebelum Tahir, orang terkaya nomor 11, Chairul Tanjung, juga mengambil Carrefour Indonesia. Pada pertengahan April 2010, CT diam-diam mengumumkan telah mengambil alih 40 persen saham PT Carrefour Indonesia. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, akuisisi yang dilakukan melalui PT Trans Corpora ini menelan Rp3 triliun. (Baca selengkapnya: Dari Perancis ke Tendean)
Ada alasan sendiri mengapa CT mengambil alih peritel terbesar di Indonesia asal Perancis ini. "Bayangkan, kalau distribusi bahan pokok penduduk Indonesia dikuasai asing, apa yang terjadi. Inilah alasan kami mengambil Careffour," katanya, saat itu.
Tak cuma di hypermarket, CT juga mengaku bermimpi memiliki 10 ribu gerai minimarket. Gerai ini akan tersebar di seluruh pelosok negeri. Minimarket ini tidak hanya akan dikelola sendiri, tetapi juga diwaralabakan. "Nanti namanya ada kata Trans-nya," katanya, saat itu.
Jauh sebelum itu, pengusaha nasional yang besar karena rokok, Putera Sampoerna, melalui PT HM Sampoerna juga membidani penguasa ritel Alfa. Pada 1985, dia bersama Djoko Susanto membangun 15 gerai Alfa Gudang Rabat di beberapa wilayah di Jakarta. Kios ini awalnya untuk mendistribusikan rokok Sampoerna.
Putera Sampoerna merupakan orang terkaya ke-9 dengan total kekayaan US$2,4 miliar.
Pada 1994, pasangan Putera dan Djoko membuka Alfa Minimart sebelum akhirnya diubah menjadi Alfamart. Namun kerja sama ini hanya berlangsung hingga 2005, setelah Putera melepas seluruh saham PT HM Sampoerna Tbk, termasuk anak usahanya ke Philip Morris International dengan nilai US$5 miliar.
Namun, karena tidak tertarik dengan ritel, Philip Morris dengan senang hati menjual saham Alfamart kepada Djoko dan private equity investor, Northstar.
Dengan perkembangan luar biasa, pada 2011, Majalah Forbes menobatkan Djoko Susanto sebagai orang terkaya nomor 25 dengan kekayaan US$1,04 miliar.
Sageworks, sebuah perusahaan penyedia informasi finansial yang berbasis di Amerika Serikat, meneliti industri yang berhasil bertahan pada masa sulit, 2006-2011. Hasilnya, industri ritel tetap tumbuh pada kisaran 4,9 persen. Bahkan pada tahun terbaik, industri ini tumbuh 7,4 persen (2007) dan konsisi terburuk juga masih tumbuh positif 1,3 persen (2009).
Atas alasan inikah orang-orang terkaya Indonesia masuk ke bisnis ritel?
Sekadar informasi, sejumlah orang terkaya Indonesia turut mengais keuntungan di Industri ini. Keluarga Tahir misalnya, pengusaha gaek yang lama malang melintang di dunia perbankan melalui Bank Mayapada ini belakangan membangun minimarket perkantoran, Bao Bao Express.
Tahir yang memiliki gurita bisnis Grup Mayapada ini merupakan orang terkaya ke 14 di Indonesia versi Majalah Forbes November 2012. Selain dari Bank Mayapada, kekayaan Tahir sebesar US$1,4 miliar datang dari jaringan rumah sakit Mayapada Hospital, dan sejumlah persewaan gedung, seperti Mayapada Tower dan Sona Topas Tower di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Dengan mengusung warna orange, Bao Bao yang artinya anak manis, menawarkan minimarket yang aman dan nyaman. Gerai berlogo perempuan berbaju khas Cina warna merah ini membidik para pekerja. Tak aneh bila layanan dan dagangannya tak jauh dari kebutuhan kaum urban, seperti makanan ringan, minuman kalengan atau seduhan, toiletries, isi pulsa, hingga pembayaran rekening listrik.
Didukung modal yang kuat, gerai yang kini baru berjumlah 15 ini akan ditingkatkan menjadi 100 cabang pada tahun ini. "Lima tahun ke depan 1.000 cabang," kata Direktur Bao Bao Express Stanley Goliath kepada VIVAnews.
Sebelum Tahir, orang terkaya nomor 11, Chairul Tanjung, juga mengambil Carrefour Indonesia. Pada pertengahan April 2010, CT diam-diam mengumumkan telah mengambil alih 40 persen saham PT Carrefour Indonesia. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, akuisisi yang dilakukan melalui PT Trans Corpora ini menelan Rp3 triliun. (Baca selengkapnya: Dari Perancis ke Tendean)
Ada alasan sendiri mengapa CT mengambil alih peritel terbesar di Indonesia asal Perancis ini. "Bayangkan, kalau distribusi bahan pokok penduduk Indonesia dikuasai asing, apa yang terjadi. Inilah alasan kami mengambil Careffour," katanya, saat itu.
Tak cuma di hypermarket, CT juga mengaku bermimpi memiliki 10 ribu gerai minimarket. Gerai ini akan tersebar di seluruh pelosok negeri. Minimarket ini tidak hanya akan dikelola sendiri, tetapi juga diwaralabakan. "Nanti namanya ada kata Trans-nya," katanya, saat itu.
Jauh sebelum itu, pengusaha nasional yang besar karena rokok, Putera Sampoerna, melalui PT HM Sampoerna juga membidani penguasa ritel Alfa. Pada 1985, dia bersama Djoko Susanto membangun 15 gerai Alfa Gudang Rabat di beberapa wilayah di Jakarta. Kios ini awalnya untuk mendistribusikan rokok Sampoerna.
Putera Sampoerna merupakan orang terkaya ke-9 dengan total kekayaan US$2,4 miliar.
Pada 1994, pasangan Putera dan Djoko membuka Alfa Minimart sebelum akhirnya diubah menjadi Alfamart. Namun kerja sama ini hanya berlangsung hingga 2005, setelah Putera melepas seluruh saham PT HM Sampoerna Tbk, termasuk anak usahanya ke Philip Morris International dengan nilai US$5 miliar.
Namun, karena tidak tertarik dengan ritel, Philip Morris dengan senang hati menjual saham Alfamart kepada Djoko dan private equity investor, Northstar.
Dengan perkembangan luar biasa, pada 2011, Majalah Forbes menobatkan Djoko Susanto sebagai orang terkaya nomor 25 dengan kekayaan US$1,04 miliar.
Benarkah Indonesia --yang memiliki 237 juta penduduk-- sasaran empuk industri ritel? (umi)
No comments:
Post a Comment